Menjadi Guru Mulia

Menjadi Guru Mulia

By Nur Khasanah    ,Editor : Umi Rhodhiyah

Guru, dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari “digugu lan ditiru”, yaitu orang yang dipercaya dan diikuti. Orang Sumbawa menyebutnya Dea Guru , sebuah identitas yang disematkan kepada orang yang mengabdikan hidupnya secara total untuk mengajar Al-Quran. Dalam masyarakat Sumatera Barat guru kerap dipanggil Buya, yang berasal dari bahasa Arab; abi atau abuya yang berarti ayahku atau sosok yang dihormati. Di tanah Aceh kita mengenal istilah Teungku, Guree yang berarti guru dan memiliki makna yang hampir sama dengan Gurutta di Sulawesi.
Semua julukan itu menunjukan kesepakatan bersama bahwa guru adalah sosok yang mulia, dihormati, dan menjadi panutan di masyarakat.

Dalam literatur Islam, guru disebut Mu’allim. Dalam tingkatan yang lebih tinggi disebut Murobbi. Murabbi memiliki makna yang lebih luas melebihi tingkat mu`allim. Istilah Murabbi mengacu kepada sifat pendidik yang tidak hanya mengajarkan suatu ilmu, tetapi dalam waktu yang sama mencoba mendidik rohani, jasmani/fisik, dan mental anak didiknya untuk menghayati dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Demikian besarnya peran murobbi (baca: guru), sehingga Islam menempatkan guru pada posisi tinggi yang harus dihormati atau di-takdhim-i.

Nabi Muhammad SAW adalah sosok Murobbi teladan. Beliau adalah sosok guru ideal yang menjadi inspirator bagi guru dimanapun dan kapanpun. Kiprah Muhammad SAW sebagai guru telah melahirkan murid-murid handal di berbagai bidang. Abu bakar dikenal dengan julukan Assidiq (benar-jujur) , sosok pemimpin yang lembut dan bijaksana. Umar bin Khotthob dikenal dengan julukan Al-Faruk ( pembeda), sosok pemimpin yang tegas. Utsman bin Affan yang dikenal dengan julukan Dzu Nurrain (pemilik dua cahaya) adalah seorang saudagar sukses. Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan julukan karromallahu wajhu (semoga Allah memulyakannya) adalah sosok yang memiliki akhlak agung dan ilmu yang luas. Mereka adalah contoh-contoh murid generasi pertama yang telah dilahirkan guru agung Muhammad SAW. Sang guru, Muhammad SAW telah berhasil mengoptimalkan potensi yang dimiliki murid-muridnya sehingga pada masanya meraka adalah orang-orang yang menjadi panutan umat.

Guru bak pelita, penerang dalam gulita” merupakan gambaran sosok guru, karena peran guru sebagai pembawa perubahan (agen of change). Kesuksean siapa pun tidak bisa dilepaskan dari sosok guru. Guru yang hebat akan melahirkan murid yang hebat pula. Perhatikan mahfudzat berikut :

Ath thariqah ahamu minal madah, wal ustaadzu ahammu min ath-thariqah, wa ruuhul ustadz ahammu min al ustadz”. (metode pelajaran lebih penting dari pelajaran, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri)

Metode pembelajaran itu penting.Tapi guru lebih penting dari metode itu sendiri. Dan ruh(baca:karakter) guru adalah yang paling penting. Al-Zarnuji dalam bukunya Ta’limul Muta’Allim menjelaskan tentang kompetensi penting yang harus ada pada guru yang hebat, antara lain sebagai berikut.

  1. Kompetensi kepribadian (shalih). Shalih atau kadang ditulis saleh mempunyai makna taat, sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, suci, dan beriman. Jika digabungkan dalam frasa ‘Amal shalih’, memiliki makna sebuah pekerjaan yang berorientasi untuk mencari keridhaan Allah swt dan dilandaskan pada aturan-aturan Allah swt. Seorang guru hendaknya memiliki jiwa ikhlas yaitu senantiasa membingkai dirinya dengan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya; baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan, ataupun hukuman. Setelah Ikhlas, seorang guru juga dituntut memiliki sikap takwa, yaitu senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
  2. Kompetensi rohani (wara’). Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat. Para ulama seringkali mengartikan waro’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Terkait dengan guru, adalah guru yang dapat menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat; seperti pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau, menyia-nyiakan waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan lain-lain yang bisa menjatuhkan martabat guru.
  3. Kompetensi keahlian (‘alim). ‘Alim artinya berilmu. Sosok guru yang ‘alim adalah guru yang ilmunya selalu bertambah. Dapat juga berarti guru yang mempunyai keahlian khusus, kompeten dalam bidangnya (profesional). Guru yang ‘alim adalah modal penting dalam proses pembimbingan peserta didik. Seperti kata pepatah; Faqidusy Sya’i Laa Yu’tihi (yang tidak punya sesuatu, tidak bisa memberikan sesuatu).

Di tangan guru yang shalih, wara’ dan ‘alim, insya Allah akan lahir murid-murid yang berakhlak mulia, ikhlas dalam amal dan berwawasan luas. Bagi guru yang salih, wara, dan alim, menjadi guru bukan semata-mata mentransfer ilmu dan mencari reward duniawi. Akan tetapi menjadi guru adalah tugas mulia yang berorientasi pada ridha Allah SWT semata. Layak bagi guru mulia mendapat balasan dari Allah SWT dengan kehidupan yang penuh berkah.

SELAMAT HARI GURU, 25 NOVEMBER 2020
Guru MULIA; mulia dunia, mulia akhirat. Aamiin

Yogyakarta, 10 November 2020
By Nur Khasanah

Maroji :
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Wikipedia Indonesia, Terjemah Ta’lim Muta’alim Syeikh Az-Zarnuji