Lantai yang terbuat dari marble berkualitas tinggi, dengan pilar menjulang agung sebagai penopangnya. Begitulah kira-kira bagaimana rincian visual rumah bak istana Michel, sedangkan itu hanya sebagian kecilnya saja. Michel sendiri adalah gadis yang masih berumur 13 tahun, dengan kehidupan berliku yang cukup berbeda dari anak sebayanya. Meskipun begitu, Michel tetaplah bahagia. Benar-benar suatu harapan yang amat sulit tetapi terasa lega ketika terwujudkan.
Ayah Michel, Hartono Budiman, adalah pendiri dari perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi, dan sudah terkenal akan kualitasnya. Beliau adalah seseorang yang meledak-ledak ambisinya. Benar-benar mencerminkan bagaimana seorang pebisnis pada umumnya. Hartono sudah menekuni bidang tersebut sejak masa remajanya, jadi tidak heran bila diumur 45 tahun, ia sudah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Hartono menikah dengan Julian Oktovian, seorang jurnalistik cerdas juga teman masa kecilnya pada umur 27 tahun. Akan tetapi, rumah tangga yang mereka bangun selama 5 tahun tersebut hancur ketika Julian mengandung anak perempuan yang kini sudah beranjak remaja. Betul sekali, gadis itu adalah Michelia C Budiman, yang juga dikenal dengan Michel.
Meskipun sudah menikah, pasangan itu dengan berat hati sudah bersepakat untuk tidak memiliki buah hati. Mereka bahkan telah berkomitmen untuk menerima keadaan tersebut kecuali penyakit “tiroid” yang diidap Julian telah sembuh, karena rentan sekali bagi ibu hamil untuk keguguran bila penyakit ini dihiraukan begitu saja. Inilah keputusan yang Hartono usulkan untuk dibahas bersama. Beliau bahkan memilih untuk mengikhlaskan tidak mempunyai anak kandung karena mengedepankan kesehatan sang istri tercinta.
Akan tetapi situasi mendesak pun terjadi. Sesuatu yang tidak diharapkan mengguncang keharmonisan antara kedua insan ini. Julian tiba-tiba mengandung dengan pria lain, yang berujung pada tekad untuk menyembunyikan kehamilan tersebut dari suaminya. Ia khawatir akan terjadi hal yang lebih buruk, yaitu perceraian.
Satu hal yang perlu diketahui, alasan utama Julian memendamnya sendiri adalah untuk mempertahankan kandungannya diatas tubuhnya yang semakin melemah. Sementara ia tahu dengan pasti, bahwa Hartono akan memintanya untuk menggugurkan janin itu. Tentu saja, Hartono adalah pasangan yang romantis tetapi juga keras kepala. Ia bahkan lebih mementingkan Julian daripada hidupnya sendiri. Apapun akan Hartono lakukan demi kesehatan sang istri. Julian juga bukannya sengaja untuk berselingkuh dengan lelaki lain. Lebih tepatnya, ia menjadi korban dari pelecehan seksual. Tentu saja jurnalis muda itu jauh lebih mencintai suaminya dibanding dengan pelaku yang bahkan ia sendiri tidak mengetahui identitasnya.
Julian memanglah wanita yang bijaksana, cerdas, dan bermartabat. Hanya saja ia masih terlalu polos untuk masalah pertemanan. Usianya yang tergolong cukup muda di lingkungan kerjanya saat itu, belum mengerti bila sekadar makan malam tim bersama bisa membawa malapetaka yang dapat menghancurkan hidupnya hingga berkeping-keping. Apalagi di zaman itu, teknologi belum secanggih sekarang untuk memastikan siapa pelakunya. Tekanan hebat yang Julian alami ternyata membawa dampak buruk terhadap mental juga fisiknya. Ia terpuruk dan jatuh dalam depresi berat yang menjurus kepada obat-obatan terlarang dalam dosis yang sangat tinggi. Terbesit pula dalam benaknya bahwa menghilang bahkan lebih baik dibanding harus hidup dengan penuh penderitaan.
Namun dengan pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa, ia mengurungkan niat buruknya, dan memilih untuk tidak menyerah demi janin yang ada dalam kandungannya. Julian mempertahankan hidupnya dengan serpihan tenaga yang tersisa. Julian memutuskan untuk merawat anaknya kelak dengan angkat kaki ketika tiada seorangpun di rumah tanpa meninggalkan jejak. Tiada seorang pun yang tahu tentang kepergiannya. Meskipun begitu, Julian benar-benar mencintai Hartono, ia meninggalkan secarik surat kepada suaminya yang mengisyaratkan bahwa ia akan segera kembali ketika setelah masalahnya selesai.
Ketika pulang ke rumah, Hartono terkejut bukan main. Bukanlah senyuman hangat istrinya yang ia lihat, melainkan rumah dalam keadaan gelap gulita seperti tiada penghuninya. Ia heran dan terus mencari kemanakah perginya Julian di setiap sudut rumah, sampai akhirnya ditemukanlah surat itu. Hartono sedikit kesal karena tidak adanya komunikasi antara mereka berdua, padahal itu adalah sesuatu yang menurutnya wajib untuk didiskusikan terlebih dahulu. Meskipun begitu, ia tetap mencoba untuk percaya dan memahami tindakan istrinya yang kabur tanpa alasan yang jelas.
Satu hingga dua bulan berlalu, Hartono menunggu, tetapi istrinya tak kunjung memberi alasan. Empat bulan pun juga telah berlalu, Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Menunggu panggilan sepanjang malam pun tetap saja sama, harapannya hancur sia-sia. Mungkinkah memang ini akhirnya? Ataukah memang ia melakukan suatu kesalahan yang tak lagi bisa dimaafkan? Hartono bahkan menangis tak hentinya merindukan kehangatan sang istri. Ia berharap Julian tidak melupakan dirinya.
Akan tetapi, karena sudah tak lagi tahan, ia berjanji, jika memang Julian tidak lagi menghubunginya dalam satu bulan, maka ia terpaksa untuk mengambil langkah yang sebenarnya tidak diinginkan. Ia bertekad mengirim pasukan handal untuk mencari Julian, di belahan dunia mana pun ia berada. Biaya bukan lagi masalah kalau itu bersangkutan dengan Julian. Tak peduli apakah bertepuk sebelah tangan sudah cintanya, ia hanya ingin bertemu, dan melihat keadaan istrinya, dan berharap bahwa ia baik-baik saja.
Lima bulan sudah kini Hartono menunggu. Semua rencana sudah ia pikirkan dan siapkan matang-matang, meskipun hanya untuk mencari keberadaan satu orang saja. “Maafkan aku Julian, kau tahu? kau membuatku kesal, sampai-sampai aku tak lagi tahan untuk bertemu denganmu. Apapun keadaannya, ku doakan kau tetaplah sehat, meskipun aku mungkin akan membencimu,” ucap Hartono sembari membaca ulang surat yang Julian tinggalkan. Seluruh pasukan kini telah berangkat, menjalankan perintah yang diterima. Menuju tujuan dan arah yang membentang di seluruh penjuru bumi, berharap bahwa semakin cepat mereka bertemu, justru lebih baik.
Namun nihil, benar-benar tiada harapan sudah kali ini. Sembilan bulan berlalu tetapi hasilnya masih saja sama. Tak ada satupun kabar dari pasukan pencari Julian, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menyerah dan mundur dari perintah. Hartono mulai belajar untuk hidup tanpa istrinya dan mengikhlaskan segalanya. Ia pasrah mulai saat itu juga. Tetapi entah keajaiban atau bencana, ditengah kepasrahannya itu tiba-tiba datanglah kabar ditemukan sudah keberadaan Julian, meskipun asal-usul siapa pengirimnya sangat tidak jelas. Hartono sangat terkejut dan bahagia mendengar hal itu. Setelah semua perjuangan dan pengorbanan yang ia lalui, akhirnya terbalas juga. Titik terang penyelesaian kini telah mencuat ke permukaan.
Identitas pengirim yang tidak meyakinkan bukanlah penghalang. Ia tahu mungkin ini adalah langkah yang sangat sembrono mengingat banyaknya ancaman juga teror untuk dirinya yang memainkan peran sangat besar dalam dunia bisnis. Meskipun begitu, Hartono bersama beberapa penjaganya langsung meluncur ke tempat tujuan tanpa ada rasa ragu sedikit pun.
Sesampainya di tempat tujuan, Hartono bingung setengah mati. Ia berusaha mengendalikan amarah yang hampir meledak-ledak karena masih tak percaya akan apa yang ia lihat didepannya. Sebuah batu nisan sederhana, bertuliskan Julian Oktovian pada ukirannya. Hartono berdiri mematung dalam waktu yang sangat lama dengan tatapan mata kosong menatap batu nisan tersebut. Tak lama kemudian, Hartono merasakan pusing yang amat dahsyat menyerang kepalanya. Ia jatuh tersungkur dan pingsan akibat kekurangan mineral setelah tidak makan dan minum semenjak datang menemui istrinya, yang ternyata telah tiada.
Pandangan gelap dan samar-samar, namun perlahan mulai membaik, dan terlihat dengan jelas. Hartono mengedipkan mata, dan yang terlihat hanyalah ruangan rumah sakit berdinding putih. Akan lebih membosankan bila seorang nenek yang tidak dikenal tidak hadir disebelahnya. Nenek bermuka datar itu kemudian berkata, “Anak muda jangan takut, nenek disini hanya menemanimu sampai kau sadar. Tadi nenek melihatmu pingsan di tempat pemakaman, jadi nenek memanggil penjagamu untuk membawamu kesini. Sekarang bangkitlah, dokter berkata kondisimu baik-baik saja, dan kau boleh langsung pulang jika sudah sadar. Kalau begitu nenek pulang ya, nak. Jaga dirimu dan juga anakmu.” Dengan sigap Hartono menahan tangan nenek itu sembari berkata, “Anak? Saya tidak punya anak. Informasi darimana itu? Lalu kau ini siapa sebenarnya?” Mendengar perkataan Hartono nenek itu hanya tersenyum. “Suatu hari nanti saat waktunya tiba nenek akan menceritakan semuanya. Sekarang nak muda fokus saja untuk proses penyembuhan. Temui nenek lagi, ya. Sampai jumpa nanti,” ujar nenek tersebut.
Selang dua hari kemudian, Hartono bergegas menuju tempat mendiang istrinya dimakamkan. Ia membuat perjanjian untuk menemui nenek tak dikenal itu kembali, ingin menyambung pertanyaan yang belum terjawab. Nenek itu rupanya sudah menunggu kedatangan Hartono dan siap untuk bercerita apapun selama itu masih relevan. “Nak muda sempat bertanya siapa nenek sebenarnya saat di rumah sakit. Nenek adalah satu-satunya orang yang menjaga Julian dimasa akhir hidupnya. Julian itu istri nak Hartono bukan?” ucap nenek itu. Mendengarnya, mata Hartono membelalak, tangannya mengepal, ia mengontrol nafas, dan mempertahankan akal sehatnya.
“Maksudnya? Bagaimana bisa kalian bertemu? Rupa-rupanya nenek juga sudah tahu siapa saya,” tanya Hartono. Entah mengapa nenek itu terdiam untuk beberapa saat, kepalanya menunduk, ia menangis. Tak lama kemudian nenek itu menjawab, “Kalian berdua sama ya haha, setiap pertemuan pertama pasti saja pingsan,” nenek itu tertawa. “Julian wanita yang tangguh, ia berani untuk melakukan perjalanan jauh seorang diri, dengan membawa kandungan dan penyakit berat yang menggerogoti tubuhnya. Belum lagi ia tidak membawa makanan dan minuman yang cukup, tentu saja ia kelaparan dan pingsan di tengah jalan. Saat itu nenek melihat dan membantunya. Hari itu adalah kali pertama kami bertemu. Nenek membawanya ke pondok samping rumah, dan merawatnya disana. Meskipun hanya menjaganya dari jauh, nenek tahu dia benar-benar mencintai kandungannya, juga dirimu nak muda. Setiap bangun pagi, Julian selalu menyebut namamu. Ia mendo’akanmu, menatap foto kalian berdua saat bersama, sembari menangis terisak-isak karena merindukanmu. Julian sangat mencintaimu, tetapi ia dihadapkan dengan pilihan besar yang sangat berat. Mau tidak mau Julian harus tetap memilih. Rasanya pasti sangat pedih. Namun pada akhirnya, ia lebih memilih nyawa seseorang yang bahkan belum ada di dunia ini, tetapi sudah seperti belahan jiwanya sendiri. Betul, Julian hamil, meskipun dengan lelaki lain.”
Hartono tersentak. Ia hanya bisa menangis. Tak lagi tahu harus percaya atau tidak, tetapi semua cerita itu terasa sangat nyata. Julian memang sangat penyayang, jadi apa yang nenek itu jelaskan tentu saja dapat ia bayangkan. Apalagi kerinduannya kepada Julian yang menggebu-gebu membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih, dan memutuskan untuk mempercayai apa yang nenek itu katakan. Tetapi ada suatu hal yang mengganjal dipikirannya, “Julian hamil? dengan lelaki lain? Bagaimana bisa itu terjadi? Semua hal ini membingungkan. Istriku adalah orang yang paling dapat dipercaya diantara semua orang yang pernah kutemui. Apakah itu berarti buah hati dari Julian bukan anakku? Ah..bukankah itu berarti Julian kabur dari rumah karena…diriku sendiri?” tanya Hartono.
Nenek itu hanya menatap datar, dan menjelaskan semuanya tanpa ada sedikitpun yang tertinggal. Ia ingin Hartono mengerti situasi yang sebenarnya Julian alami. Sehingga tidak menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Situasi seperti itu memang sangatlah rumit, Hartono dan Julian tidak saling berkomunikasi terlebih dahulu, sehingga tidak ada pihak yang benar-benar salah. Mereka berdua benar-benar hanya bertempur dengan argumennya masing-masing. Masalah sebenarnya bukanlah tentang kehamilan, bukan juga tentang perasaan khawatir yang justru mencelakakan. Komunikasi. Kunci utama adalah komunikasi antara kedua belah pihak.
Andai saja Hartono tidak meminta istrinya untuk menggugurkan kehamilan bila suatu saat memang terjadi, dengan alasan memprioritaskan kesehatan Julian. Andai saja Julian tidak memendam masalah untuk dirinya sendiri, dan tidak takut berbicara yang sejujurnya kepada Hartono. Padahal mereka sudah sering berbeda pendapat, dan suaminya adalah orang hebat yang akan mendengarkan dan menghargai keputusannya apapun yang terjadi. Cerita mungkin akan berubah. Meskipun tidak signifikan, paling tidak akhirnya tidak akan sepedih ini.
Nenek itu kemudian menceritakan apa yang terjadi pada Julian pada akhir hidupnya kepada Hartono. Penyakit “tiroid” yang Julian derita ternyata benar-benar mengancam keselamatan nyawa juga kandungannya. Namun Julian sudah tak lagi peduli, ia tetap kukuh ingin melihat anaknya, meskipun hanya sekejap. Betul saja, ketika sudah waktunya melahirkan, tubuh Julian dalam kondisi yang terburuk, ia dilarikan ke rumah sakit dengan banyak peralatan medis di sekujur tubuhnya. Tenaga yang tersisa juga sudah tak lagi bisa berdaya, hingga ia harus melakukan “operasi sesar”. Untunglah perjuangan Julian tidak terbuang sia-sia. Anaknya bergender perempuan dan lahir dengan sehat. Tetapi bayarannya adalah nyawanya sendiri.
Dibantu oleh sang nenek, selepas prosesi melahirkan, ia bergegas keluar dari ruang persalinan dengan wajah yang berseri-seri, meskipun seluruh badannya sakit dan mati rasa. Setelah melihat rupa wajah putrinya, ia menangis, dan berbisik, “Hartono Budiman, ini memang bukan anak biologismu, tapi tolong sayangilah dia seperti anakmu sendiri, namanya Michelia C. Budiman. Perawakan anak ini mirip sekali denganku hahaha. Aku sangat mencintai kalian berdua, Hartono dan Michel, hidup kalian masih panjang, berbahagialah selalu.” Tak lama setelah itu, ajal menjemput Julian, dalam keadaan tersenyum bahagia.
“Itulah mengapa nenek berkata Michel adalah anakmu. Julian yang memintanya, aku hanya menyampaikan ini padamu sebagai amanah. Kau belum bertemu Michel kan? ayo kita pulang, kalian berdua harus bertemu.” ucap nenek.
Mata berwarna cokelat muda, mirip sekali dengan Julian. Ketika Hartono bertemu Michel untuk yang pertama kali, ia seperti melihat Julian kecil yang sangat imut puluhan tahun lalu. Kini Hartono paham alasan Julian lebih memilih mempertahankan anak ini. Lihatlah dia, betapa imut dan lucunya saat sedang tidur. Bagaimana bisa seseorang membenci bayi kecil nan mungil seperti Michel? Tanpa sadar Hartono pun tersenyum lebar disertai setetes air mata yang mengalir di pipinya, bukan sebagai bencana melainkan pertanda kebahagiaan.
Ia tidak menyangka akan terjadi situasi seperti ini dalam hidupnya, yang biasanya hanya seputar bisnis. Apalagi disaat itu ia sedang menjalankan industri tekstil. Namun sekarang, ia mempunyai ide untuk mendirikan cabang baru dari perusahaannya, yaitu teknologi. Berharap tiada lagi kasus sama yang menimpa orang lain, terutama perempuan yang dilecehkan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencari pelakunya karena peralatan yang belum memadai. Entah mengapa kehadiran Michel, mengajarkan banyak perspektif baru dalam hidupnya.
Hartono kemudian memutar arah pandangannya dan berkata, “Nek, bisakah kita mengenal satu sama lain lagi dari awal? Perkenalkan nama saya Hartono Budiman, salam kenal. Terimakasih atas segalanya. Sebenarnya saya juga sudah tahu kalau yang memberi kabar dengan pengirim yang tidak jelas identitasnya itu adalah nenek sendiri.”
“Haha, betul, itu adalah nenek, sama-sama nak muda, salam kenal juga ya Hartono, nama nenek adalah Citra, semoga kedepannya hidupmu terbalut dengan ketentraman sentosa yang sejati,” balas Nenek Citra.
Mulai saat itu, Michel, Hartono, dan Nenek Citra adalah satu keluarga, meskipun tiada keterkaitan darah antara satu sama lain, tetapi siapa yang peduli? Mereka saling menyayangi, dan bertumbuh bersama ke arah yang lebih baik.